Jakarta --- “Di masa pandemi COVID-19 saat ini, guru, orang tua murid dan anak-anak harus bisa beradaptasi dengan adanya kebijakan Belajar dari Rumah (BdR). Kebijakan BdR merupakan hal yang baru dan tentunya memiliki tantangan tersendiri. Untuk itu, diperlukan perhatian ekstra dalam memastikan hak-hak anak, termasuk hak perlindungan, agar tetap terpenuhi,” ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam Seminar Online memperingati Hari Pendidikan dengan tema Penguatan Kurikulum dan Perlindungan Anak bersama PGRI Provinsi Bali. Menteri Bintang berpesan kepada para guru agar dapat bersikap proaktif dalam melaksanakan kebijakan BdR. “Melihat berbagai tantangan dalam melaksanakan kebijakan ini, maka harus dihadapi dengan cara fleksibel dan menyesuaikan kemampuan di daerah masing-masing. Marilah kita bersama-sama berinovasi dan berkreasi dalam pelaksanaan BdR, misalnya dengan memasukkan permainan sederhana bagi anak dalam materi pembelajaran agar anak tidak merasa jenuh,” tambah Menteri Bintang. Di samping itu, Menteri Bintang menyoroti pentingnya perlindungan anak saat mengakses internet di era digital saat ini. Mengingat banyaknya bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi dan berkembang ke arah cybercrime. “Menurut data KPAI pada 2017 hingga 2019, jumlah kasus pornografi dan kejahatan online terhadap anak baik yang menjadi korban ataupun pelaku mencapai 1.940 anak. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua, kuncinya adalah pendampingan dari guru dan orang tua saat anak mengakses internet,” jelas Menteri Bintang. Menteri Bintang menekankan, orang tua dan guru harus memiliki literasi digital yang baik. Misalnya mengetahui fitur dan aturan terkait perlindungan anak dalam internet, seperti kontrol orang tua (parental control), situs khusus anak, waktu maksimal bergawai, batasan usia dalam penggunaan aplikasi dan media sosial. “Anak juga harus dibekali dengan literasi digital sejak dini, sehingga tahu apa saja hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Hal ini penting karena tugas yang diberikan banyak berkaitan dengan penggunaan internet,” ujarnya. Saat ini, Kemen PPPA telah membuat berbagai materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang ditujukan pada anak serta tool tips agar anak mempunyai aktivitas di rumah yang dapat diakses melalui website resmi Kemen PPPA, media sosial Kemen PPPA, serta portal Gerakan Berjarak, yaitu gerakan yang diinisiasi oleh Kemen PPPA untuk penyebaran informasi pada masa pandemi COVID-19. “Namun di sisi lain, sejak dulu masalah kekerasan pada anak di lingkungan sekolah masih sering terjadi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2011-2019 melaporkan terdapat 3.821 anak menjadi korban dan pelaku kekerasan di bidang pendidikan yaitu 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan menjadi korban perundungan di sekolah, serta 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan menjadi pelaku perundungan di sekolah,” tutur Menteri Bintang. Menteri Bintang menambahkan, tindak kekerasan juga banyak dilakukan berbagai pihak di sekolah. Sebanyak 44% kekerasan terhadap anak di sekolah dilakukan oknum guru atau kepala sekolah, 30% kekerasan terjadi antar siswa, 13% dilakukan siswa kepada guru, dan 13% dilakukan orang tua siswa kepada guru (Data KPAI, Desember 2019). “Hal ini menunjukkan, evaluasi sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah masih dibutuhkan. Sekolah yang kita anggap sebagai tempat aman, ternyata berpotensi menempatkan anak pada situasi salah. Tugas besar kita bukanlah saling menyalahkan dan menghukum pihak yang melakukan kekerasan, melainkan menciptakan sistem pendidikan yang aman, nyaman, dan harmonis bagi guru, orang tua, dan siswa,” tegasnya. Dalam upaya mewujudkan sistem yang harmonis pada satuan pendidikan, Kemen PPPA telah membentuk dan mengembangkan program Sekolah Ramah Anak (SRA) dengan prinsip pencegahan dan melakukan penanganan kekerasan terhadap anak, serta penerapan program sekolah aman dari kekerasan dan penerapan disiplin positif. Hingga Januari 2019, tercatat sebanyak 42.013 SRA tersebar di 301 kabupaten/kota di 34 provinsi seluruh Indonesia. Selain SRA, Kemen PPPA telah menggagas adanya Pusat Kreativitas Anak (PKA) untuk memastikan anak mendapatkan tempat yang terlindungi pada waktu mereka bermain, dan melakukan berbagai aktifitas yang positif, inovatif, dan kreatif, termasuk turut melestarikan budaya lokal. Menteri Bintang berharap, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia dapat mendorong seluruh pengurus dan anggotanya agar berkomitmen untuk hijrah hati menuju sekolah ramah anak. Hal tersebut dimulai dengan proses pendisiplinan di sekolah tanpa hukuman/kekerasan, dan diganti dengan pendisiplinan melalui pembinaan dan pendampingan serta pertolongan kepada anak. “Selamat Hari Pendidikan untuk para anggota PGRI di seluruh Indonesia. Terima kasih atas pengabdiannya untuk mendidik anak-anak Indonesia selama ini. Mari bersama-sama kita bersinergi agar seluruh anak Indonesia menjadi anak yang berkualitas menuju cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli dan memiliki sikap kepemimpinan,” tutup Menteri Bintang.