Loading...
PPPA

Pelanggaran Hak Anak, Perkawinan Anak Bukan Pilihan

21 Mei 2020
Detail Berita

Jakarta --- Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan kontroversi seorang youtuber yang membuat video dan membagikan pengalamannya menikah dengan anak perempuan berusia 16 tahun pada tahun 2019. Saat itu revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum disahkan sehingga celah tersebut membuat youtuber itu merasa bebas untuk meromantisasi perkawinan usia anak. Hal ini menimbulkan banyak kritikan karena tindakan tersebut dianggap dapat menormalisasi praktek perkawinan usia anak. “Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak dan berarti juga pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), karena hak anak bagian dari HAM,” tegas Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin saat membuka media briefing dengan tema “Kawin Usia Anak Bukan Pilihan” melalui video conference, Rabu (20/05). Menurut Lenny, pembentukan konsepsi keluarga dalam perkawinan di era globalisasi mempengaruhi cara pandang anak sehingga orang dewasa di sekitar anak terutama orang tua dan keluarga perlu memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentang konsep keluarga dan perkawinan. Usia perkawinan anak perempuan juga telah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Kita harus secara terus menerus memberikan pemahaman kepada semua pihak, utamanya anak serta keluarga dan orang tua tentang pentingnya memahami konsepsi perkawinan yang harus dilandasi dengan nilai-nilai, dan bahwa perkawinan jangan dilihat manis-manisnya saja atau romantismenya saja, tapi banyak di balik itu yang harus dipersiapkan dan akan dialami pasca perkawinan itu sendiri. Dari data yang ada bisa dilihat dampak perkawinan anak, seperti drop-out sekolah, gangguan kesehatan pada ibu dan bayinya, dan karena tingkat pendidikan rendah maka mereka (jika terpaksa harus bekerja) berpotensi bekerja di sektor informal dengan upah rendah. Ketiga faktor tersebut (pendidikan, kesehatan dan ekonomi) akan mempengaruhi angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM); dan bahkan juga akan berpengaruh pada capaian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals,” jelas Lenny. Menanggapi hal ini, Psikolog Allisa Wahid yang juga menjadi narasumber, menyebutkan masih ada cara pandang lama masyarakat tentang perkawinan yang akhirnya bisa melanggengkan perkawinan anak. “Faktor yang utama itu adalah pandangan tentang anak perempuan. Artinya yang mendorong budaya, masyarakat bahkan keluarga hingga tokoh agama mendukung perkawinan anak karena anak perempuan itu dianggap tidak perlu sekolah tinggi atau cukup dengan menjadi istri. Ini yang perlu diubah,” jelas Allisa Wahid. Menurut Allisa Wahid, dari posisi anak, alasan anak terdorong untuk melakukan perkawinan anak karena adanya informasi atau pengaruh eksternal. “Dari sisi anak, ternyata faktornya adalah karena mereka terjebak romantisme perkawinan. Terlalu banyak menonton film yang melihat bahwa kawin itu modalnya cukup cinta. Mengapa demikian? Ya karena memang masih anak, jadi pemahaman mereka terhadap perkawinan masih belum cukup,” tambah Allisa. Menanggapi persoalan ini, Ketua KPAI Susanto menyatakan bahwa viralisasi pemberitaan, akan berpotensi mendekatkan anak dengan informasi perkawinan dan rentan mempengaruhi cara berfikir serta perilaku anak. “Pencegahan perkawinan anak berbasis komunitas perlu dikembangkan agar anak teredukasi akan pentingnya kematangan dalam melangsungkan perkawinan,” ujar Ketua KPAI, Susanto. Pandangan tersebut juga dikuatkan oleh Ketua Forum Anak Nasional Tristania Faisa, “Kami yang menjadi peer grup berperan besar melakukan perubahan cara pandang teman-teman kami agar tidak menikah di usia anak karena dampaknya yang merugikan dan melanggar hak anak. Kami juga berperan sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) untuk mendukung pencegahan perkawinan anak,” ujar Tristania.   Di sisi lain, dari perspektif media, Peneliti Media Roy Thaniago menuturkan jika konten di youtube dan media massa sering membingkai perkawinan anak dalam cerita romantis dan unik sehingga seolah dianggap normal dan bukan suatu masalah. Lenny mengingatkan agar seluruh pihak mendukung upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang lebih penting adalah bagaimana di tingkat pelaksanaannya. Pelibatan seluruh agen perubahan di era global saat ini sangat diperlukan, karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Partisipasi dan peran anak, keluarga, lembaga pendidikan, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dunia usaha, media, serta pihak-pihak lain perlu bersinergi dalam upaya pencegahan perkawinan anak. “Anak itu adalah peniru ulung. Apapun yang dilakukan oleh orang dewasa, anak itu meniru dengan mudah. Nah, bagaimana agen-agen perubahan di era global dan digital saat ini bisa kita buat lebih produktif dan kreatif dalam keikutsertaannya mencegah perkawinan anak. Menghentikan perkawinan anak adalah tanggung jawab semua pihak. Dibutuhkan sinergi bersama seluruh pemangku kepentingan hingga ke tingkat akar rumput untuk mewujudkannya,” tambah Lenny. Dalam dialog tersebut,  jurnalis Sonya Hellen Sinombor sebagai moderator, dihadiri oleh awak media, serta Pemda dan Forum Anak dari berbagai daerah, aktivis perempuan dan anak, organisasi masyarakat, serta masyarakat umum. Pada akhir sesi, Lenny juga menyampaikan pesan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, bahwa kita perlu menjadi manusia kreatif dan adaptif yang mampu menghadapi tantangan dalam memanfaatkan teknologi untuk membangun kepercayaan, kerja sama, serta sinergi bersama menuju Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045. (mediadanpublikasikemenpppa)