Jakarta (29/06) --- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong pembangunan ketahanan keluarga yang responsif gender sebagai upaya pencegahan stunting dan membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Hal tersebut dapat diupayakan, salah satunya melalui pengasuhan dan pemberian gizi yang optimal pada periode emas anak yang dilakukan oleh keluarga. Deputi Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA, Vennetia R Danes mengatakan, anak sebagai SDM masa depan suatu bangsa, tentu tumbuh kembangnya haruslah menjadi perhatian kita bersama. Khususnya pada periode 0-4 tahun, anak mengalami perkembangan yang sangat pesat baik secara fisik, kognitif, maupun sosio-emosional yang akan menjadi fondasi kuat bagi masa depan mereka. “Sayangnya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, 30% balita di Indonesia masih mengalami stunting,” jelas Vennetia dalam Webinar “Membangun Kualitas Ketahanan Keluarga yang Responsif Gender dan Responsif Hak Anak dalam rangka Mencegah Stunting.” Vennetia melanjutkan kondisi Pandemi Covid-19 juga turut mempengaruhi masalah stunting yang ada di Indonesia. Ia juga mengingatkan bahwa permasalahan stunting tidak hanya berkaitan dengan masalah kesehatan, namun berhubungan dengan faktor lain seperti yang berkaitan dengan isu gender dan anak. “Penyebab stunting perlu ditelusuri dan dilihat apakah berkaitan dengan gender. Apakah terdapat persoalan pada perempuan dalam memperoleh akses? Apakah perempuan dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan dan kontrol serta menerima manfaat yang setara dan adil, baik saat perempuan sedang dalam masa hamil dan menyusui, atau mulai dari saat pra konsepsi bahkan saat perempuan itu masih remaja?” ujar Vennetia. Oleh sebab itu, Vennetia menekankan pentingnya penguatan fungsi keluarga, baik melalui kemitraan dan memperhatikan relasi gender. Selain itu, butuh kerja sama berbagai sektor guna menyelesaikan isu ketidaksetaraan gender, isu perempuan dan anak yang saling berkaitan dalam mengatasi masalah stunting. Menanggapi hal tersebut, dokter RS Siloam Purwakarta, Anggia Farrah menjelaskan dampak-dampak stunting pada anak yang bukan hanya berdampak jangka pendek pada pertumbuhan fisik anak terganggu, melainkan efek jangka panjang yang mempengaruhi kecerdasan anak khususnya prestasi belajar tidak masksimal. Untuk itu, Anggia menekankan pentingnya memperhatikan pertumbuhan anak pada periode emas seribu hari pertama. Apabila asupan gizi yang diberikan pada periode tersebut tidak maksimal, maka akan sulit diintervensi ketika sudah mengalami stunting. “Asupan kunci pada periode emas seribu hari pertama anak perlu diperhatikan orang tua. Pertama, memastikan kecukupan gizi anak melalui Inisiasi Menyusui Dini (IMD) setelah bayi lahir, selanjutnya pemberian asi eksklusif dari 6 bulan yang berlanjut hingga 2 tahun, dan MPASI (Makanan Pendamping ASI) bila anak sudah berusia 6 bulan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari keluarga karena keluarga merupakan wahana utama dan pertama untuk mengembangkan potensi anak dan memberikan kasih sayang,” jelas Anggia. Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Bidang Kemasyarakatan, Khotimun Sutanti menjelaskan faktor-faktor penyebab stunting. Selain terdiri dari faktor langsung yang berhubungan dengan asupan gizi dan status kesehatan, faktor tidak langsung seperti kesenjangan ekonomi, sosial, dan pemberdayaan perempuan menjadi hal yang mempengaruhi kondisi anak. “Laki-laki biasanya memiliki privilege dalam masyarakat dan berperan lebih besar dalam pengambilan keputusan di keluarga. Misalnya keputusan kehamilan dan penggunaan kontrasepsi masih banyak diputuskan oleh laki-laki. Padahal seharusnya diambil keputusan bersama yang mempertimbangkan aspek kesehatan dan psikologis sang ibu. Selain itu kalau jarak kehamilannya dekat biasanya pengasuhan anaknya juga menjadi sulit dan gizi ibu dan anaknya menjadi kurang diperhatikan. Faktor-faktor tersebutlah yang bisa menyebabkan stunting pada anak,” ujar Khotimun. Khotimun menambahkan tanggung jawab gizi dan pengasuhan anak saat ini masih dianggap hanya menjadi masalah perempuan, sedangkan laki-laki tidak dilatih untuk memahami. Masalah tersebut berpengaruh terhadap pola pengasuhan anak karena para ayah menjadi tidak memahami dan merasa pengasuhan anak bukan menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Menanggapi permasalahan peningkatan partisipasi ayah dalam membangun ketahanan keluarga, Co-founder Ayah Asi, Rahmat Hidayat menekankan pentingnya peran laki-laki dalam keluarga dan mencegah stunting sebagai pendukung nomor satu istri. “Ayah sebagai pendukung utama ibu menyusui perlu dilibatkan dalam program pencegahan stunting, karena pengasuhan bukan tanggung jawab ibu saja. Masyarakat lebih sering mengarahkan masalah anak, menyusui dan gizi itu hanya tanggung jawab ibu semata sehingga kadang akses ayah untuk ikut berpartisipasi masih kurang. Padahal melalui peran ayah, inisiasi menyusui dini bisa ditingkatkan hingga 81,2 persen dan berpengaruh terhadap pencegahan stunting,” ungkap Rahmat. (birohukumdanhumaskpppa)